:: SELAMAT DATANG DI NIRWAN-OKTAFIANTO.BLOGSPOT.COM ::

Kamis, 06 Oktober 2011

MENGENAL ALLAH SWT



Tak kenal maka tak sayang, demikian bunyi pepatah. Banyak orang mengaku mengenal Allah, tapi mereka tidak cinta kepada Allah. Buktinya, mereka banyak melanggar perintah dan larangan Allah. Sebabnya, ternyata mereka tidak mengenal Allah dengan sebenarnya.
Sekilas, membahas persoalan bagaimana mengenal Allah bukan sesuatu yang asing. Bahkan mungkin ada yang mengatakan untuk apa hal yang demikian itu dibahas? Bukankah kita semua telah mengetahui dan mengenal pencipta kita? Bukankah kita telah mengakui itu semua?
Kalau mengenal Allah sebatas di masjid, di majelis dzikir, atau di majelis ilmu atau mengenal-Nya ketika tersandung batu, ketika mendengar kematian, atau ketika mendapatkan musibah dan mendapatkan kesenangan, barangkali akan terlontar pertanyaan demikian.
Yang dimaksud dalam pembahasan ini yaitu mengenal Allah yang akan membuahkan rasa takut kepada-Nya, tawakal, berharap, menggantungkan diri, dan ketundukan hanya kepada-Nya. Sehingga kita bisa mewujudkan segala bentuk ketaatan dan menjauhi segala apa yang dilarang oleh-Nya. Yang akan menenteramkan hati ketika orang-orang mengalami gundah-gulana dalam hidup, mendapatkan rasa aman ketika orang-orang dirundung rasa takut dan akan berani menghadapi segala macam problema hidup.
Faktanya, banyak yang mengaku mengenal Allah tetapi mereka selalu bermaksiat kepada-Nya siang dan malam. Lalu apa manfaat kita mengenal Allah kalau keadaannya demikian? Dan apa artinya kita mengenal Allah sementara kita melanggar perintah dan larangan-Nya?
Maka dari itu mari kita menyimak pembahasan tentang masalah ini, agar kita mengerti hakikat mengenal Allah dan bisa memetik buahnya dalam wujud amal.
Mengenal Allah ada empat cara yaitu mengenal wujud Allah, mengenal Rububiyah Allah, mengenal Uluhiyah Allah, dan mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah.Keempat cara ini telah disebutkan Allah di dalam Al Qur’an dan di dalam As Sunnah baik global maupun terperinci.

Ibnul Qoyyim dalam kitab Al Fawaid hal 29, mengatakan: “Allah mengajak hamba-Nya untuk mengenal diri-Nya di dalam Al Qur’an dengan dua cara yaitu pertama, melihat segala perbuatan Allah dan yang kedua, melihat dan merenungi serta menggali tanda-tanda kebesaran Allah seperti dalam firman-Nya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam terdapat (tanda-tanda kebesaran Allah) bagi orang-orang yang memiliki akal.” (QS. Ali Imran: 190)
Juga dalam firman-Nya yang lain: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang, serta bahtera yang berjalan di lautan yang bermanfaat bagi manusia.” (QS. Al Baqarah: 164)
Mengenal Wujud Allah
Yaitu beriman bahwa Allah itu ada. Dan adanya Allah telah diakui oleh fitrah, akal, panca indera manusia, dan ditetapkan pula oleh syari’at.
Ketika seseorang melihat makhluk ciptaan Allah yang berbeda-beda bentuk, warna, jenis dan sebagainya, akal akan menyimpulkan adanya semuanya itu tentu ada yang mengadakannya dan tidak mungkin ada dengan sendirinya. Dan panca indera kita mengakui adanya Allah di mana kita melihat ada orang yang berdoa, menyeru Allah dan meminta sesuatu, lalu Allah mengabulkannya.






Adapun tentang pengakuan fitrah telah disebutkan oleh Allah di dalam Al Qur’an:
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu menurunkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman ): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu’ Mereka menjawab: ‘(Betul Engkau Tuhan kami) kami mempersaksikannya (Kami lakukan yang demikian itu) agar kalian pada hari kiamat tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami bani Adam adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan-Mu) atau agar kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan yang datang setelah mereka.’.” (QS. Al A’raf: 172-173)
Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa fitrah seseorang mengakui adanya Allah dan juga menunjukkan, bahwa manusia dengan fitrahnya mengenal Rabbnya. Adapun bukti syari’at, kita menyakini bahwa syari’at Allah yang dibawa para Rasul yang mengandung maslahat bagi seluruh makhluk, menunjukkan bahwa syari’at itu datang dari sisi Dzat yang Maha Bijaksana.
Mengenal Rububiyah Allah
Rububiyah Allah adalah mengesakan Allah dalam tiga perkara yaitu penciptaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan pengaturan-Nya.
Maknanya, menyakini bahwa Allah adalah Dzat yang menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rizki, mendatangkan segala mamfaat dan menolak segala mudharat. Dzat yang mengawasi, mengatur, penguasa, pemilik hukum dan selainnya dari segala sesuatu yang menunjukkan kekuasaan tunggal bagi Allah.
Dari sini, seorang mukmin harus meyakini bahwa tidak ada seorangpun yang menandingi Allah dalam hal ini. Allah mengatakan: “Katakanlah!’ Dialah Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya sgala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya.” (QS. Al Ikhlash: 1-4)

Maka ketika seseorang meyakini bahwa selain Allah ada yang memiliki kemampuan untuk melakukan seperti di atas, berarti orang tersebut telah mendzalimi Allah dan menyekutukan-Nya dengan selain-Nya.Dalam masalah rububiyah Allah sebagian orang kafir jahiliyah tidak mengingkarinya sedikitpun dan mereka meyakini bahwa yang mampu melakukan demikian hanyalah Allah semata. Mereka tidak menyakini bahwa apa yang selama ini mereka sembah dan agungkan mampu melakukan hal yang demikian itu. Lalu apa tujuan mereka menyembah Tuhan yang banyak itu? Apakah mereka tidak mengetahui jikalau ‘tuhan-tuhan’ mereka itu tidak bisa berbuat apa-apa? Dan apa yang mereka inginkan dari sesembahan itu?
Allah telah menceritakan di dalam Al Qur’an bahwa mereka memiliki dua tujuan.
Pertama, mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya sebagaimana firman Allah:
“Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai penolong (mereka mengatakan): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami di sisi Allah dengan sedekat-dekatnya’.” (Az Zumar: 3)
Kedua, agar mereka memberikan syafa’at (pembelaan ) di sisi Allah. Allah berfirman:
“Dan mereka menyembah selain Allah dari apa-apa yang tidak bisa memberikan mudharat dan manfaat bagi mereka dan mereka berkata: ‘Mereka (sesembahan itu) adalah yang memberi syafa’at kami di sisi Allah’.” (QS. Yunus:18) [ Lihat kitab Kasyfusy Syubuhat karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab)

Keyakinan sebagian orang kafir terhadap tauhid rububiyah Allah telah dijelaskan Allah dalam beberapa firman-Nya:
“Kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan mereka? Mereka akan menjawab Allah.” (QS. Az Zukhruf: 87)
“Dan kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan yang menundukkan matahari dan bulan? Mereka akan mengatakan Allah.” (QS. Al Ankabut: 61)
“Dan kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan bumi setelah matinya? Mereka akan menjawab Allah.” (QS. Al Ankabut: 63)
Demikianlah Allah menjelaskan tentang keyakinan mereka terhadap tauhid Rububiyah Allah. Keyakinan mereka yang demikian itu tidak menyebabkan mereka masuk ke dalam Islam dan menyebabkan halalnya darah dan harta mereka sehingga Rasulullah mengumumkan peperangan melawan mereka.
Makanya, jika kita melihat kenyataan yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin, kita sadari betapa besar kerusakan akidah yang melanda saudara-saudara kita. Banyak yang masih menyakini bahwa selain Allah, ada yang mampu menolak mudharat dan mendatangkan mamfa’at, meluluskan dalam ujian, memberikan keberhasilan dalam usaha, dan menyembuhkan penyakit. Sehingga, mereka harus berbondong-bondong meminta-minta di kuburan orang-orang shalih, atau kuburan para wali, atau di tempat-tempat keramat.Mereka harus pula mendatangi para dukun, tukang ramal, dan tukang tenung atau dengan istilah sekarang paranormal. Semua perbuatan dan keyakinan ini, merupakan keyakinan yang rusak dan bentuk kesyirikan kepada Allah.
Ringkasnya, tidak ada yang bisa memberi rizki, menyembuhkan segala macam penyakit, menolak segala macam marabahaya, memberikan segala macam manfaat, membahagiakan, menyengsarakan, menjadikan seseorang miskin dan kaya, yang menghidupkan, yang mematikan, yang meluluskan seseorang dari segala macam ujian, yang menaikkan dan menurunkan pangkat dan jabatan seseorang, kecuali Allah. Semuanya ini menuntut kita agar hanya meminta kepada Allah semata dan tidak kepada selain-Nya.

Mengenal Uluhiyah Allah
Uluhiyah Allah adalah mengesakan segala bentuk peribadatan bagi Allah, seperti berdo’a, meminta, tawakal, takut, berharap, menyembelih, bernadzar, cinta, dan selainnya dari jenis-jenis ibadah yang telah diajarkan Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Memperuntukkan satu jenis ibadah kepada selain Allah termasuk perbuatan dzalim yang besar di sisi-Nya yang sering diistilahkan dengan syirik kepada Allah.
Allah berfirman di dalam Al Qur’an:
“Hanya kepada-Mu ya Allah kami menyembah dan hanya kepada-Mu ya Allah kami meminta.” (QS. Al Fatihah: 5)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah membimbing Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu dengan sabda beliau:
“Dan apabila kamu minta maka mintalah kepada Allah dan apabila kamu minta tolong maka minta tolonglah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)

Allah berfirman:
“Dan sembahlah Allah dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” (QS. An Nisa: 36)
Allah berfirman:
“Hai sekalian manusia sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al Baqarah: 21)
Dengan ayat-ayat dan hadits di atas, Allah dan Rasul-Nya telah jelas mengingatkan tentang tidak bolehnya seseorang untuk memberikan peribadatan sedikitpun kepada selain Allah karena semuanya itu hanyalah milik Allah semata.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman kepada ahli neraka yang paling ringan adzabnya. ‘Kalau seandainya kamu memiliki dunia dan apa yang ada di dalamnya dan sepertinya lagi, apakah kamu akan menebus dirimu? Dia menjawab ya. Allah berfirman: ‘Sungguh Aku telah menginginkan darimu lebih rendah dari ini dan ketika kamu berada di tulang rusuknya Adam tetapi kamu enggan kecuali terus menyekutukan-Ku.” (HR. Muslim dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman dalam hadits qudsi: “Saya tidak butuh kepada sekutu-sekutu, maka barang siapa yang melakukan satu amalan dan dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku maka Aku akan membiarkannya dan sekutunya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu )
Contoh konkrit penyimpangan uluhiyah Allah di antaranya ketika seseorang mengalami musibah di mana ia berharap bisa terlepas dari musibah tersebut. Lalu orang tersebut datang ke makam seorang wali, atau kepada seorang dukun, atau ke tempat keramat atau ke tempat lainnya. Ia meminta di tempat itu agar penghuni tempat tersebut atau sang dukun, bisa melepaskannya dari musibah yang menimpanya. Ia begitu berharap dan takut jika tidak terpenuhi keinginannya. Ia pun mempersembahkan sesembelihan bahkan bernadzar, berjanji akan beri’tikaf di tempat tersebut jika terlepas dari musibah seperti keluar dari lilitan hutang.
Ibnul Qoyyim mengatakan: “Kesyirikan adalah penghancur tauhid rububiyah dan pelecehan terhadap tauhid uluhiyyah, dan berburuk sangka terhadap Allah.”
Mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah
Maksudnya, kita beriman bahwa Allah memiliki nama-nama yang Dia telah menamakan diri-Nya dan yang telah dinamakan oleh Rasul-Nya. Dan beriman bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang tinggi yang telah Dia sifati diri-Nya dan yang telah disifati oleh Rasul-Nya. Allah memiliki nama-nama yang mulia dan sifat yang tinggi berdasarkan firman Allah:
“Dan Allah memiliki nama-nama yang baik.” (Qs. Al A’raf: 186)
“Dan Allah memiliki permisalan yang tinggi.” (QS. An Nahl: 60)


Dalam hal ini, kita harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah sesuai dengan apa yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya dan tidak menyelewengkannya sedikitpun. Imam Syafi’i meletakkan kaidah dasar ketika berbicara tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagai berikut:
“Aku beriman kepada Allah dan apa-apa yang datang dari Allah dan sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah. Aku beriman kepada Rasulullah dan apa-apa yang datang dari Rasulullah sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Rasulullah.”

Ketika berbicara tentang sifat-sifat dan nama-nama Allah yang menyimpang dari yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka kita telah berbicara tentang Allah tampa dasar ilmu. Tentu yang demikian itu diharamkan dan dibenci dalam agama. Allah berfirman:
“Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tampa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah (keterangan) untuk itu dan (mengharamkan) kalian berbicara tentang Allah tampa dasar ilmu.” (QS. Al A’raf: 33)
“Dan janganlah kamu mengatakan apa yang kamu tidak memiliki ilmu padanya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan diminta pertanggungan jawaban.” (QS. Al Isra: 36)
Sifat-sifat yang wajib bagi ALLAH SWT, antara lain :
1.    Sifat Iradat (berkehendak)
Sifat qudrat yang telah dipelajari erat sekali hubungannya dengan sifat Iradat (berkehendak). Qudrat biasanya diiringi oleh iradat. Semua isi alam ini dijadikan karena kehendak (iradat) Allah, tidak ada campur tangan orang lain.
Setiap orang mempunyai kehendak untuk melaksanakan sesuatu yang diinginkannya. Ada pula yang mencita-citakan sesuatu dan diiringi dengan usaha keras untuk mencapainya. Tetapi mengapa kehendaknya itu tidak semuanya terlaksana dan cita-citanya itu tidak seluruhnya tercapai ?
Hal itu disebabkan, karena kehendak manusia masih ada kehendak (iradat) Allah SWT  yang menentukan. Allah dapat memilih dan menentukan apa yang dikehendaki-Nya. Sedangkan manusia walaupun bagaimana kuasanya dank eras kemauannya tidak dapat menentukan pilihannya secara pasti. Allah berfirman :
“Dan Tuahanmu itu menciptakan apa yang dikehendaki dan yang dipilih-Nya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka.” (Al-Qashash : 68).
Kalau kehendak manusia selalu berlaku menurut keinginannya, tentu dia akan memilih senang, berkecukupan dan tidak mau susah dan kekurangan. Tetapi kenyataannya dalam masyarakat ada orang yang susah dan senang, ada orang yang hidupnya berkecukupan dan ada pula yang kekurangan.
Pehatikan juga hewan yang dijadikan Allah beraneka ragam. Ada hewan berkaki dua, empat dan ada pula yang berjalan dengan perutnya (melata). Semuanya itu atas kehendak Allah, bukan kehendak hewan yang bersangkutan. Allah berfirman :
“Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka dari sebagian dari hewan itu ada yang berjalan dengan perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki sedang sebagian yang lain berjalan dengan keempat kaki.Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (An-Nur : 45).
            Sesuatu yang tidak dikehendaki Allah tidak akan terjadi dan sesuatu yang dikehendaki-Nya pasti akan terjadi. Allah berfirman :
“Sesungguhnya keadaan-Nya, apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya : “Jadilah;” maka jadilah ia.” (Yasin : 82).
2.      Sifat Sama’ (Mendengar)
Allah bersifat sama’ (Maha Mendengar). Dia mendengar segala suara yang ada di alam ini. Tidak ada suara yang tidak bisa didengar oleh Allah walupun suara-suara itu sangat lemah sekalipun.
Akal sehat tidak akan dapat menerima, apabila ada orang yang mengatakan, bahwa Allah itu tuli. Apakah sebabnya ? Sifat tuli adalah suatu cacad. Orang yang tuli dapat dikatakan hidupnya kurang sempurna, lebih-lebih lagi apabila sifat tuli itu terdapat pada seorang pemimpin.
Tidak layak dan bahkan suatu hal yang mustahil, sifat cacad itu tidak terdapat pada Allah yang menjadi pemimpin alam semesta ini.
Allah tidak hanya Maha Mendengar, tetapi juga menciptakan pendengaran makhluk-makhluk-Nya. Di dalam Al-Qur’an Allah berfirman :
“Katakanlah : Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan serta siapakah yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakh yang mengatur segala urusan ? Maka mereka akan menjawab : “Allah.” Maka katakanlah : mengapa kamu tidak bertaqwa kepada-Nya ?” (Yunus : 31)
            Semua suara yang ada di ala mini tidak luput dari pendengaran Allah. Semua didengar dan dipahami Allah, seperti do’a yang diucapkan dengan suara yang lemah dan tidak dapat didengar oleh manusia. Mengapa demikian ? Karena Allah itu  amat dekat dengat hamba-Nya. Allah berfirman dalam Al-Qur’an :
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan orang yang berdo’a apabila ia berdo’a kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Al-Baqarah : 186).
            Orang akan berakal tanpa ragu-ragu dapat menerima firman Allah itu. Tidakkah kita ketahui, bahwa dalam dunia modern ini kita dapat mendengar suara orang yang sedang berpidato di benua Amerika dan Eropa umpamanya. Dengan perantara alat telekomunikasikita dapat langsung mendengar suara yang berbicara dengan kita dalam ukuran jarak jauh, walaupun dibatasi oleh pulau-pulau atau lautan.
            Itulah di antara contoh-contoh yang dapat kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi sifat pendengaran Allah Maha Sempurna.
            Oleh sebab itu, orang yang beriman kepada Allah menghindari diri dari ucapan kata-kata yang tidak baik dan tidak berguna, karena semuanya didengar oleh Allah SWT.
3.    Sifat Bashar ( Melihat)
Allah bersifat melihat (basher). Dia melihat semua yang ada di alam ini, baik yang ada dalam tempat yang terang maupun dalam tempat yang gelap gulita.
Untuk membuktikan, bahwa Allah itu melihat tidaklah begitu sukar.Umpamanya, orang yang menjalankan mobil, kapal laut dan kapal terbang adalah orang-orang yang tajam penglihatannya. Tugas tersebut tidakmungkin dijalankan oleh orang buta.
Suatu penelitian dan pengawasan yang amat sederhana sekalipun memerlukan penglihatan, tidak mungkin dengan cara meraba-raba dan menduga-duga.

Sebagaimana telah diketahui, bahwa benda-benda ala mini seperti bumi, matahari, bintang, bulan  dan planet-planet lainnya, semuanya diatur dan diawasi perjalanannya oleh Allah. Kalau tidak ada pengawasan Allah tidak mungkin serapi dan seteratur yang kita saksikan sekarang ini, bahkan akan berbenturan satu dengan yang lain. Adalah tidak pantas dan malahan mustahil, apabila dikatakan Allah itu buta.
Kita masing-masing dapat merasakan, bahwa kita dapat melihat suatu benda dalam ukuran tertentu. Benda-benda yang kecil baru dapat kita lihat dengan bantuan alat microscope. Bahkan ada yang belum dapat kita lihat walaupun telah dibesarkan beberapa kali. Begitu juga kejadian-kejadian pada suatu tempat yang sangat jauh, yang hanya mungkin bisa kita lihat melalui perantara TV.
Berbeda dengan Allah, Dia dapat melihat semua isi alam ini tanpa kecuali.Oleh karena itu orang yang beriman selalu berbuat baik, karena dia menyadari bahwa perbuatannya tidak luput dari pengawasan dan penglihatan Allah.
Allah tidak pernah mengantuk dan tidur sebagaimana firman-Nya :
“Allah, tidak ada Tuhan selain Dia yang hidup kekal serta berdiri sendiri tidak pernah mengantuk dan tidur.” (Al-Baqarah : 255)
4.    Sifat Kalam (Berfirman)
Allah Kita sudah mengetahui, bahwa Al-Qur’an, Injil, Taurat dan Zabur itu adalah firman atau kalam Allah. Firman-Nya itu disampaikan kepada para Rasul-Nya. Kalam itu adalah salah satu sifat kesempurnaan bagi, tidak mungkin bersifat sebaliknya, yaitu sifat bisu. Apa sebabnya ?
            Bukankah sifat bisu itu merupakan suatu cacad bagi seseorang ? Orang yang bisu tidak dapat mengeluarkan buah pikirannya dengan kata-kata. Cobalah bayangkan, bagaimana seorang guru yang bisu dapat menyampaikan pelajaran kepada murid-muridnya dengan sempurna, walaupun dia seorang guru yang pandai ? Hasil pelajaran dari guru yang tidak pandai dan tidak bisu tentu jauh lebih baik dari pada hasil pelajaran dari guru yang pandai tapi bisu.
            Bisu adalah suatu cacad besar bagi seorang pemimpin, lebih-lebih pemimpin alam semesta ini, yaitu Allah SWT. Pikiran yang sehat tentu tidak dapat menerima sifat cacad itu bagi Allah. Perhatikanlah firman-firman-Nya yang tersusun dengan bahasa yang rapi dan indah dalam Kitab Suci-Nya. Isinya mengandung penerangan dan perintah bagi makhluk-Nya.

Allah telah berfirman kepada Nabi Musa :
“Allah telah memfirmankan firman-Nya kepada Musa. (An-Nisa : 164).
Dan pada ayat yang lain Allah berfirman :
“Dan setelah Musa sampai pada waktu yang telah ditentukan itu maka Tuhan berfirman kepadanya.”   (Al-A’ruf : 142)
            Apa yang Allah firmankan kepada para Nabi-Nya merupakan wahyu, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an :
“Dan tidak seorang pun yang diberi firman (kalam) oleh Allah, melainkan berupa wahyu.”                 (Asy-Syura : 51)
           



Al-Qur’an menjelaskan, bahwa ayat-ayat Al-Qur’an itu sendiri adalah kalam Allah. Oleh sebab itu dapat juga dikatakan, bahwa Al-Qur’an itu adalah Wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.
           
Perlu diketahui, bahwa Kalam Allah itu tidak sama dengan perbuatan manusia. Oleh sebab itu tidak ada bahasa manusia yang dapat menggantikan bahasa (kalam) Allah. Kalam Allah itu bersih dari segala yang menyerupai kata-kata manusia. Manusia tidak dapat menyamainya, walaupun bagaimana ahlinya dalam bahasa dan sastra. Yang jelas, bahwa apa yang difirmankan Allah itu berupa ilmu. Oleh sebab itu firman (kalam) Allah adalah sumber ilmu. Suatu ilmu yang membawa bahagia dunia dan akhirat.